Tuesday, November 5, 2019

Jangan Kritisi TVRI

Jangan kritisi  dan ungkap kelemahan TVRI. Demikianlah kesimpulan saya yang hampir empat tahun lamanya bergabung sebagai tenaga kontrak di TVRI Jawa Barat, tapi kemudian harus “dibuang” gara-gara beropini di sebuah media sosial, dengan judul TVRI Belum Memanusiakan Pekerjanya (TBMP).

Sebelum “dibuang”, oleh manajemen TVRI Jawa Barat, saya sempat diminta membuat tulisan opini sebagai klarifikasi walau sebenarnya tidak perlu, di media sosial yang sama. Bukan  hanya itu, saya juga segera menghapus tulisan  TBMP, atas permintaan manajemen TVRI Jawa Barat. Saya juga hampir dua kali ditanya manajemen dalam rangka pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penayangan opini tersebut.  Dan semua permintaan itu, saya turuti walau hati kecil menolak.

Akan tetapi, walau semua langkah sudah saya lakukan, saya yang sebenarnya ingin berkontribusi terus di TVRI sebagai EIC/Produser Kalawarta, Program Berita Basa Sunda di TVRI Jawa Barat, pada akhirnya “dibuang” dengan bahasa “kontrak tidak diperpanjang”.  

Gambar olahan penulis


Keputusan itu, walau berat, saya terima dengan lapang dada. Sebagai “tenaga kontrak”  dengan kontrak tanpa berdasarkan aturan kontrak kerja sesuai aturan ketenagakerjaan, saya harus menerima. Saya juga,  tidak memiliki dasar menggugat  keputusan manajemen TVRI Jawa Barat  tersebut.

Namun demikian, tetap ada yang mengganjal di benak saya. Satu hal yang jadi pemikiran saya, kenapa LPP TVRI yang katanya ingin bangkit dan memperbaiki diri agar tidak terus-terusan disclaimer,  malah alergi terharap kritik dan masukan. Padahal, kritik dan masukan itu,  dalam negara demokrasi bukan merupakan sesuatu yang tabu; dan menurut hemat saya, justru bagus untuk TVRI.

Apalagi, karena isi opini TBMP,  sebenarnya wajar dan berdasarkan kenyataan yang ada. Memang ada yang kurang tepat, tetapi yang kurang tepat dalam tulisan itu kemudian saya perjelas dalam tulisan berikutnya.

Untuk diketahui, dalam media sosial tersebut  antara lain saya menyinggung soal adanya pekerja non ASN di lingkup TVRI, yakni  Pegawai Bukan Pegawai Negeri Sipil (PBPNS), tenaga kontrak dan freelance seperti kontributor berita dan penyiar.  Menurut  saya, karena tenaga kontrak dan freelance  bekerja untuk TVRI Jabar tak ubahnya para ASN, maka sejatinya mendapat upah layak, apalagi karena yang bersangkutan tidak mendapatkan tunjangan lain. TVRI misalnya harus  taat kepada aturan pengupahan yang ditentukan oleh Dinas Tenaga Kerja setempat.  Karena TVRI Jabar berada di Kota Bandung, dalam pengupahan, misalnya, idealnya disesuaikan dengan UMK sebesar Rp. 3.000.0000. 

Demikian pula dalam pemberian THR di setiap Hari Raya Lebaran. Hak-hak tenaga honorer dan freelance pun sejatinya mendapat perhatian dari TVRI.

Itu saya singgung, karena selama TVRI Jawa Barat beroperasi, tidak pernah berpatokan kepada ketentuan Disnasker setempat. Upah tenaga kontraknya hanya sebesar Rp 2, 2 juta itupun harus dipotong iuran BPJS .

Upah seperti itu bersih, sebab tidak ada hal lain yang bisa menyebabkan pekerjanya hidup layak. Kalau pun ada tambahan, hanya berasal dari operasional dari tugas tambahan yang nilainya juga hanya cukup untuk sebungkus rokok. Dan jika lebaran, THR, selama bertahun-tahun tidak pernah sesuai ketentun dari pemerintah. Paling besar, THR tenaga kontrak TVRI Jabar hanya sebesar Rp. 1.200.000. Demikian pula dengan THR freelance. Paling besar Rp. 500.000 walaupun yang bersakutan mengabdi ke TVRI sudah belasan tahun lamanya.

Dalam kaitan dengan itu, saya berharap, Direktur dan Dewas TVRI sekarang bersedia memanusiakan pekerjanya yang non ASN dan Non PBPNS dengan memberikan upah layak sesuai aturan yang berlaku. Itu artinya, yang diperjuangan pengambil kebijakan di TVRI sekarang, bukan hanya memperbaiki layar agar publik tanah air kembali menonton TVRI. Tagar #kami kembali, hendaknya dibarengi dengan itikad mensejahterakan pekerjanya.

Hal lain yang disinggung dalam tulisan yang membuat saya “dibuang”,  adalah soal fakta ketika ada tenaga kontrak yang harus memasuki masa pensiun. Saat diputus harus pensiun,  mereka hanya mendapat uang pesangon dua kali gaji   tidak lebih—hingga membuat mereka menangis dan meratapi nasib.

Apakah itu berlebihan?

Saya bolak-balik membaca tulisan yang sudah diminta dihapus  dari media sosial itu. Akan tetapi, saya tetap tidak menangkap  sesuatu yang berlebihan. Apakah karena tulisan itu perjuangan TVRI untuk bebas dari disclaimer  akan terganggu?  
Agustus 2017, saya pernah menjadi juara dua dalam Lomba Menulis Surat Cinta bagi TVRI yang diselengarakan Dewas TVRI baru. Dalam tulisan itu juga saya memberikan masukan dan kritikan untuk kebaikan TVRI mendatang.  Lalu apa bedanya?


Barangkali dinamika. Setelah berjalan, TVRI tidak mau diberi kritik dan masukan. Maka, kesimpulannya, Jangan Kritik TVRI agar tak disclamer lagi!**

No comments:

Arsip

  • ()
  • ()
Show more