Tuesday, November 5, 2019

Yang belum bisa move on di Jatigede

BAH Juha (71), warga Jatigede yang kini tinggal di Dusun Cisema Desa Paku Alam, Jatigede, hingga kini tidak bisa melupakan masa indah ketika wilayahnya belum tergenang air, antara tahun 1960 hingga 1990 akhir. Tepatnya, ketika wilayahnya masih menjadi daerah pertanian yang subur dan kental dengan berbagai tradisi dan kepercayaan termasuk kepercayaan akan supranatural.

“Sampai sekarang, Abah masih ingat dan terkadang masa lalu itu masuk ke dalam mimpi tidur,” ujarnya ketika ditemui di rumah barunya yang dibangun pemerintah.

Dok pribadi


Dari teras rumahnya, tampak jelas Jatigede dengan airnya yang tampak membiru. Satu perahu terlihat melaju di atas air, entah membawa wisatawan, entah membawa warga yang tengah memancing ikan. Matahari tepat di atas kepala.

Abah Juha bercerita, sebelum terkurung air, hampir mayoritas warga yang ada di Jatigede hidup dari bertani; menanam padi dan berladang. Wilayahnya memang subur, tepat untuk jadi areal pertanian. Sejumlah tanaman produktif, selain padi, bisa tumbuh dengan baik dan hasilnya bermanfaat bagi warga.

Jika panen tiba, di kawasan Jatigede (mencakup lima kecamatan, yakni Kecamatan Jatigede, Wado, Jatinunggal, Darmaraja dan Cisitu), selalu digelar upacara Wuku Taun atau ngarot, sebagai upacara syukuran panen. “Seluruh warga, dari anak-anak hingga kakek nenek, tumpah ruah mengikuti dan menyaksikan acara itu,” kata Bah Juha mengenang.

Selain acara Wuku Taun, di kampungnya dulu,  berlangsung juga berbagai tradisi terkait bercocok tanam yang sekarang hanya tinggal kenangan.  Tradisi itu seperti tebar (persemaian) dengan berbagai prosesnya, ngabaladah (mencangkul sawah dan membersihkan rerumputan), dan lain sebagainya. Selain itu ada juga mitembeyan, yakni upacara kecil yang dilakukan pemilik sawah, ketika padi yang ditanam berumur satu bulan.

“Abah juga terkenang suara seni terebang dan angklung buhun yang dulu sering muncul pada acara-acara tertentu. Sekarang, tidak pernah terdengar lagi,” ujarnya.

Semuanya, kata Bah Juha, sekarang hanya ada dalam kenangan. Semuanya tak mungkin dilihat dan dialami lagi oleh Bah Juha dan orang tua asal Jatigede lainnya yang kini mendiami wilayah baru, baik yang rumahnya dibeli sendiri dari ganti rugi lahan, maupun di rumah yang dibangun pemerintah.
Kini, bahkan, alih-alih bisa menyatukan hati lagi dengan berbagai tradisi terkait pertanian tadi, sebagian warga Jatigede, harus bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan baru pasca Jatigede jadi waduk.

Kp Buricak Burinong


Mereka di antaranya harus bisa hidup dari air seperti jadi penarik perahu wisata, jadi pedagang wisata termasuk kulinernya, serta dari berbagai usaha yang digalakkan pemerintah setempat melalui program UMKM seperti mengolah ikan air tawar yang hidup di Jatigede.

“Ya, sekarang, warga yang dulu bertani, harus bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan dan budaya baru. Walaupun berat, tapi harus dilakukan,” kata Imam Taufik, pemuda setempat anggota BPD Paku Alam, dan pengajar di sekolah agama.

Menurut Imam, awalnya warga mengalami kendala. Namun didorong oleh keinginan untuk bertahan hidup, pelan-pelan warga mulai terbiasa.

Namun demikian Imam melihat, kini, tak sedikit warga yang belum bisa move on karena belum bisa melupakan kebiasaan dan budaya lama di seputar Jatigede.

Yang diketahui belum bisa move on tersebut,  orang seperti Bah Juha tadi. “Bah Juha dan warga tua lainnya yang sudah berumur, hingga kini masih terdengar berkeluh-kesah dan menyalahkan pemerintah karena membangun waduk di Jatigede,” kata Imam.

Namun Imam bisa memahami hal itu. Imam juga maklum ketika menyadari masyarakat OTD Jadigede seperti di Desa Cipaku, banyak yang sempat putus asa dan stress pada tahun pertama saat rumahnya ditenggelamkan. Ya karena mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan setelah lahan pertaniannya hilang berganti danau luas.

Waduk Jatigede adalah waduk terbesar kedua di Indonesia setelah Waduk Jatiluhur.  Nama Jatigede di ambil dari nama salahsatu kecamatan yang masuk objek terkena dampak (OTD) proyek tersebut, yakni Kecamatan Jatigede. Selain Kecamatan Jatigede ada juga Kecamatan Wado, Jatinunggal, 
Darmaraja dan Cisitu.

Dok pribadi


Lokasi ini dipilih jadi waduk, karena secara geografis berada di cekungan yang dikelilingi gunung dan bukit – yang dalam kenyataannya ternyata sangat subur, baik untuk ditanami padi, tembakau, pohon jati dan pepohonan produktif lainnya seperti mangga, jambu, alpukat, rambutan dan yang lainnya.
Waduk tersebut mampu menampung 980 juta meter kubik air dengan luas permukaan waduk 41,22 kilometer persegi. Manfaatnya disebut-sebut besar sekali. Antara lain bisa  mengairi 90.000 hektare lahan di Majalengka dan Indramayu, Jawa Barat, menjadi pengendali banjir bagi kawasan seluas 14.000 hektare, serta sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas sekitar 110 MV.

Ganti Rugi
Lain Bah Juha, lain juga dengan Supadi dan Dodong, dua warga OTD Jatigede lainnya yang kini tinggal di Desa Cipaku. Bila Bah Juha belum bisa move on karena masih terus teringat budaya bertani dan berbagai tradisi serta kepercayaannya, dua lelaki yang masing-masing berusia 59 dan 45 tahun ini belum bisa move on, karena masih menghadapi persoalan ganti rugi tanah keluarganya yang kini sudah menjadi danau.

“Saya, dan sejumlah warga lainnya, walaupun Waduk Jatigede sudah beroperasi dan berisi air, masih belum puas dengan ganti rugi dari pemerintah,” ujar keduanya ketika ditemui di rumahnya masing-masing.

Menurut Supadi, mestinya, seiring dengan mulai beroperasinya waduk, persoalan ganti rugi lahan, sudah selesai. Faktanya, tidak seperti itu. Persoalan ganti rugi, ternyata, masih banyak yang belum selesai.

Dok pribadi

Menurut catatan, dalam rangka menyelesaikan persoalan hanti rugi dan mendapatkan haknya, sejumlah warga korban OTD Jatigede banyak yang melakukan gugatan ke pemerintah melalui Pengadilan Negeri Sumedang. Kasusnya, sebagian sudah ada yang diputus, baik yang telah atau belum berketetapan (minutasi), baru masuk tahap sidang, maupun putusan sela, sebagaimana dilihat di sipp.pn-sumedang.go.id.

Selain melakukan gugatan, warga tak lelah meminta bantuan media, untuk memberitakan keluhan mereka soal ganti rugi yang tidak jelas dan membuat kehidupan warga terganggu.
Bukti mereka berkeluh kesah ke media, bisa dilihat dari sebuah berita dengan judul “Ganti Rugi Tak Jelas, Warga Hidup Terkatung-katung” yang diangkat dari jawapos.com.

Dibaca dalam berita itu, perencanaan pembangunan Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat yang dimulai sejak setengah abad lalu dan pengairannya dimulai akhir Agustus 2015, hingga kini masih menuai permasalahan dengan warga terdampak.

“Banyak warga yang hingga kini belum mendapatkan ganti rugi atas tempat tinggalnya yang kini tenggelam. Bahkan, beberapa dari mereka hanya mendapatkan separuh harga yang disetujui bersama pemerintah,” tulis media tersebut.

Atau bisa dilihat juga dari berita berjudul “Pembebasan Lahan Proyek Waduk Jatigede Masih Bermasalah” dari beritasatu.com.

Dituliskan, Proyek Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, hingga kini masih menyisakan berbagai permasalahan yang harus dihadapi masyarakat sekitar. Permasalahan yang muncul merupakan dampak dari perluasan lahan poyek tersebut.

“Akibat permasalahan itu, tidak sedikit korban OTD Waduk Jatigede yang masih mengeluhkan ganti rugi pembebasan lahan hingga relokasi tempat tinggal,” tulisnya.

Mengadukan nasib ke tokoh politik nasional atau mengadukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan penyimpangan uang ganti rugi proyek juga sudah dilakukan warga (lihat lapor.go.id). Namun hasilnya, belum seperti diharapkan.

“Itulah sebabnya, kami belum bisa melupakan kenangan soal Jatigede sebelum tergenang air. Ya, karena pemerintah sendiri, seakan belum berusaha membuat kami, bekas penghuni Jatigede, benar-benar melupakan Jatigede yang dulu merupakan kawasan pertain yang subur dan indah,” kata Supadi.
Dikutip dari bbc.com, pemerintah sebenarnya sejak awal berjanji akan berusaha menyelesaikan persoalan tersebut, seperti pernah disampaikan Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Mujiadi. Pemerintah, karena waduk itu memiliki nilai strategis atau penting, akan mengusahakan kompensasi kepada warga.

"Jadi komponennya itu ada pembelian tanah 400 m2, dibangunin rumah, dikasih yang namanya tunjangan living allowance enam bulan sebesar Rp3.500.000 per bulan, jadi selama masa transisi belum didapat pendapatan, pemerintah memberikan semacam subsidi," kata Mujiadi.

Demikian pula dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, ketika melakukan kunjungan ke Jatigede, April 2018 lalu sebagaimana dikutip dari prfmnews.com.

Hanya saja, omongan pejabat tersebut, ternyata tidak sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan, saat ini.
Karena itu, memang wajar jika banyak warga OTD Jatigede yang belum bisa move on, melupakan masa lalu, dan menatap masa depan yang cerah di kawasan Jatigede. ***

Rujukan:                                                                                                       


No comments:

Arsip

  • ()
  • ()
Show more