Sejak itulah penulis percaya bahwa di tengah hiruk pikuk dunia
dan kemajuan teknologinya, di tengah pembicaraan hangat soal pemberantasan
korupsi dan teror bom, ternyata
masih banyak orang yang
memercayai hal bertentangan dengan teknologi.
Mereka datang ke tempat-tempat sepi yang dianggap keramat untuk suatu
tujuan, atau menemui orang pintar yang di daerah Sunda disebut dukun.
Satu hal yang membuat kaget, menurut si nenek, orang yang
datang untuk tirakat di Majeti bermalam-malam atau sekedar ziarah, sampai
sekarang masih cukup banyak. “Memang
tidak seramai tahun 1980an dan 1990-an atau tahun-tahun sebelumnya. Tapi
jumlahnya cukup banyak,” kata dia.
Soal itu juga dibenarkan oleh juru kunci Majeti. “Memang masih ada saja yang datang ke Majeti,
baik untuk tirakat atau sekedar ziarah,” ujarnya.
Yang datang, kata juru kunci, beragam. Ada pedagang, pegawai
negeri sipil, polisi, tentara, bahkan banyak juga pejabat yang ingin naik pangkat. Mereka,
umumnya warga luar Banjar atau Ciamis.
“Umumnya mereka
datang dari jauh, seperti dari Bandung atau Jakarta. Bahkan ada juga yang
datang dari Sumatera,” kata juru kunci.
Malamnya, kebetulan tepat Malam Jumat Kliwon, dengan
ditemani seorang kawan, penulis datang kembali ke Pulo Majeti, pura-pura mau
tirakat juga. Tujuannya, selain untuk
melihat apa yang dilakukan kedua orang
itu saat tirakat, juga ingin merasakan bagaimana rasanya berada di tempat yang
dikeramatkan dan cukup legendaries, pada malam hari.
Ternyata, penulis
merasakan suasana yang lain dari pada yang lain. Suasana yang lain dan
belum pernah dirasakan tersebut misalnya
dirasakan saat mendengar suara gemerisik di semak-semak tak jauh dari
tempat kami duduk. Saat itu bulu kuduk serta-merta berdiri. Keringat dingin pun
keluar.
Diakui, penulis sebenarnya percaya bahwa suara gemerisik itu
berasal dari hewan tertentu. Akan tetapi, entah kenapa, saat itu, bulu kuduk
tetap berdiri. Hiii!
Jangan heran jika setelah berada di tempat keramat itu
sekira dua jam, penulis langsung pergi, meninggalkan Pulo Majeti yang terasa
menyeramkan di malam hari itu.
Penulis tidak tahu, apakah dua orang Subang itu tahu penulis
meninggalkan lokasi atau tidak. Yang pasti, ketika pulang, mata kedua orang itu
tetap terpejam. Mereka terlihat konsentrasi sekali, tidak terpengaruh oleh
apapun yang ada dan muncul di sekitarnya. (bersambung)
0 Comments