Onom yang Legendaris, di Era Facebook dan Tweeter (3)

Sejak itulah penulis percaya bahwa di tengah hiruk pikuk dunia dan kemajuan teknologinya, di tengah pembicaraan hangat soal pemberantasan korupsi  dan teror bom,  ternyata  masih banyak  orang yang memercayai hal bertentangan dengan teknologi.  Mereka datang ke tempat-tempat sepi yang dianggap keramat untuk suatu tujuan, atau menemui orang pintar yang di daerah Sunda disebut dukun.
Satu hal yang membuat kaget, menurut si nenek, orang yang datang untuk tirakat di Majeti bermalam-malam atau sekedar ziarah, sampai sekarang masih cukup banyak.  “Memang tidak seramai tahun 1980an dan 1990-an atau tahun-tahun sebelumnya. Tapi jumlahnya cukup banyak,” kata dia.
Soal itu juga dibenarkan oleh  juru kunci Majeti.  “Memang masih ada saja yang datang ke Majeti, baik untuk tirakat atau sekedar ziarah,” ujarnya.
Yang datang, kata juru kunci, beragam. Ada pedagang, pegawai negeri sipil, polisi, tentara, bahkan banyak juga  pejabat yang ingin naik pangkat. Mereka, umumnya warga luar Banjar atau Ciamis.
 “Umumnya mereka datang dari jauh, seperti dari Bandung atau Jakarta. Bahkan ada juga yang datang dari Sumatera,” kata juru kunci.
Malamnya, kebetulan tepat Malam Jumat Kliwon, dengan ditemani seorang kawan, penulis datang kembali ke Pulo Majeti, pura-pura mau tirakat juga.  Tujuannya, selain untuk melihat apa yang dilakukan kedua  orang itu saat tirakat, juga ingin merasakan bagaimana rasanya berada di tempat yang dikeramatkan dan cukup legendaries, pada malam hari.
Ternyata, penulis  merasakan suasana yang lain dari pada yang lain. Suasana yang lain dan belum pernah dirasakan tersebut misalnya  dirasakan saat mendengar suara gemerisik di semak-semak tak jauh dari tempat kami duduk. Saat itu bulu kuduk serta-merta berdiri. Keringat dingin pun keluar.
Diakui, penulis sebenarnya percaya bahwa suara gemerisik itu berasal dari hewan tertentu. Akan tetapi, entah kenapa, saat itu, bulu kuduk tetap berdiri. Hiii!
Jangan heran jika setelah berada di tempat keramat itu sekira dua jam, penulis langsung pergi, meninggalkan Pulo Majeti yang terasa menyeramkan  di malam hari itu.
Penulis tidak tahu, apakah dua orang Subang itu tahu penulis meninggalkan lokasi atau tidak. Yang pasti, ketika pulang, mata kedua orang itu tetap terpejam. Mereka terlihat konsentrasi sekali, tidak terpengaruh oleh apapun yang ada dan muncul di sekitarnya. (bersambung)

Post a Comment

0 Comments