Berada kembali di lingkungan situ, kembali hati saya
trenyuh. Penyebabnya, jika dicermati, ternyata situ belum seperti diharapkan.
Sepanjang diketahui, Pemkot Banjar membangun situ leutik
adalah untuk kemaslahatan warganya. Air ribuan kubik yang ditampung di
dalamnya, diharapkan bisa mengairi areal pesawahan yang selalu kekeringan di
musim kemarau di kawasan sekitarnya.
Bahkan, dalam sebuah wawancara, Walikota Banjar Herman
Sutrisno pernah mengatakan bahwa situ
diharapkan bisa mengubah pola tanam. Bila selama ini, warga bertanam padi
sekali-dua kali setahun, dengan adanya situ, bisa menjadi dua kali.
Nyatanya, sampai sekarang, harapan itu tidak pernah ada
realisasinya. Air dari situ, nyatanya hanya bisa mengairi beberapa hektar lahan
pesawahan saja. Lahan yang bisa dialiri air dari situ itu pun, ternyata hanya
lahan di kawasan terdekat situ saja. Sedangkan lahan yang semula disebutkan
akan bisa dialiri air situ, hingga sekarang belum pernah terairi, dan petani
masih seperti dulu, sebelum ada situ.
Akan tetapi, siapapun tentu tidak perlu menyalahkan
pemerintah yang sudah membuat situ.
Yang diperlukan sekarang atau nanti, barangkali
memaksimalkan situ.
Pertama, pemerintah mungkin ke depan harus mengupayakan lagi
agar tujuan pembangunan situ bisa tercapai; air situ bisa mengaliri areal
pesahawan yang luas agar kesejahteraan petani meningkat, berkat meningkatnya
hasil pertanian.
Kedua, (jika upaya mengaliri areal pesahawan mentok),
situleutik bisa disulap menjadi areal wisata air. Pemkot, misalnya, bisa
menyediakan perahu untuk wisatawan, membangun sarana kuliner, penginapan (jika
ada inverstor yang berminat),dll.
Ketiga, situ yang juga berarti “kolam besar” itu, bisa
dimanfaatkan untuk pengembangan perikanan. Bukan hal yang susah, misalnya, jika
di situleutik, dibangun keramba-keramba sebagai tempat pembesaran ikan yang
cocok dengan air, misalnya gurame atau patin, atau jenis ikan lainnya.
Masalahnya, mungkinkan ide itu bisa ditangkap pengambil
kebijakan di Banjar yang sebentar lagi berakhir?***
0 Comments