Menurut Demang Wangsafudin dari Batulawang, jauh sebelum Indonesia merdeka, di Banjar ada beberapa kelompok masyarakat yang mahir membatik.
Saya bersama istri akhir-akhir ini sering ke Cigeureung,Tasikmalaya untuk membeli bahan batik. Itu kami lakukan, karena istri saya kebetulan mendapat order membuat busana dari batik untuk beberapa keluarga yang akan melakukan hajatan di Bandung.
Nah tiap kali saya berada di Cigeureung menemani istri
memilih bahan yang cocok dan sesuai pesanan sambil sesekali memperlihatkan
bahan kepada pemesan di Bandung melalui BBM, pikiran saya selalu melayang ke
Banjar tempo doeloe, jauh sebelum
menjadi kota seperti sekarang.
Menurut Demang Wangsafudin dari Batulawang, jauh sebelum
Indonesia merdeka, di Banjar ada beberapa kelompok masyarakat yang mahir
membatik. Konon kemampuan membatik warga Banjar itu diperoleh dari pendatang dari
Jawa Tengah, atau warga Jawa Tengah yang sengaja dikirim oleh kerajaan di Jawa
Tengah untuk memberikan pelatihan membatik ke warga Banjar .
Batik hasil karya warga Banjar itu (beberapa di antaranya
disimpan oleh Demang, dan relative berbeda dengan batik hasil sayembara yang
diselenggarakan Pemkot Banjar yang terkesan tidak membumi), cukup terkenal.
Kemampuan membatik itu pun, kata Demang, bisa memberikan penghidupan yang
pantas kepada sekelompok warga Banjar.
Dalam perkembangannya, warga Banjar yang terampil membatik
itu –sebelum Indonesia merdeka, semakin banyak saja. “Warga yang terampil
membatik itu diam di wilayah tertentu yang kemudian menjadi Pataruman, atau
tempat membuat batik dari pohon Tarum,” kata Demang yang juga sengaja menanam
pohon Tarum di halaman rumahnya, tak jauh dari makan ayahnya, seorang “inohong”
dan pendiri Batulawang.
Akan tetapi, entah karena apa, setelah merdeka apalagi
setelah Ciamis dipimpin oleh Bupati yang kurang memberikan perhatian kepada
Banjar, lambat laun, pembatik di Pataruman mulai berkurang. Bahkan di kemudian
hari, tidak ada samasekali.
Yang ada kemudian, hanya cerita dan beberapa bukti batik
saja, yang beberapa di antaranya disimpan di rumah Ki Demang di Batulawang. “Bukti
bahwa di Banjar ada tradisi membatik ini, saya peroleh dari orang tua, selain
berdasarkan hasil pencarian,” ujarnya.
Ketika menemani istri belanja batik itu, kemudian muncul
beberapa pertanyaan menyangkut batik di Banjar itu? Apakah tradisi membatik di
Banjar bisa dibangkitkan kembali? Apakah pengelola Banjar kini punya kepedulian
terhadap hal itu?
Saya hanya bisa mengelus dada, kemudian. Pengelola Banjar
sudah hampir sepuluh tahun bertugas. Artinya tugasnya segera usai, dan akan
diganti oleh pemimpin baru.
Artinya, mengharapkan pemimpin sekarang menaruh perhatian
serius kepada upaya membangkitkan tradisi membatik agak mustahil. Harapan itu
sekarang digantungkan kepada pemimpin Banjar mendatang yang akan lahir dari
suksesi pada pengujung 2013 mendatang.
Oh, ya, sebenarnya pemerintahan sekarang di tahun kemarin
pernah membuat sayembara membuat batik khas Banjar. Pemenangnya sudah ada, dan
karyanya sudah digunakan menjadi seragam PNS di Banjar. Akan tetapi, upaya itu
tidak dibarengi oleh upaya membangkitkan tradisi membatik di Banjar . Buktinya,
batik PNS yang dibuat berdasarkan hasil sayembara itu pun diproduksi banyak
bukan di Banjar, hehehe.
Sejatinya, yang perlu dilakukan itu adalah membangkitkan
kembali tradisi membatik dulu, dengan semangat untuk membangkitkan perekonomian
dan memperluas lapangan kerja di Banjar. Setelah tradisi itu lahir kembali,
baru dipikirkan untuk membuat batik khas Banjar.
Caranya, boleh-boleh saja melalui sayembara seperti yang
sudah dilakukan. Walau sebenarnya, sayembara itu tidak perlu dilakukan karena
Banjar sudah punya batik khas yang berbeda dengan batik lainnya. Batik itu,
tersimpan aman di lemari di sebuah kamar milik pemelihara adat dan budaya
Banjar, Ki Demang Batulawang!
0 Comments