Cerita Soal Angka 13

Saya termasuk orang yang percaya kepada sepuh atau kiai yang memiliki indra keenam . Sepuh atau kiai dimaksud adalah yang punya kemampuan khusus “melihat” info masa depan dari “langit”, baik melalui istikoroh maupun melalui cara lain yang kadang tidak dipahami akal sehat.
Boleh jadi banyak yang tidak percaya. Boleh jadi juga kebanyakan dari kita percaya. Akan tetapi, karena alasan tertentu, pura-pura tidak mempercayainya. Padahal, ketika ada masalah atau dihadapkan pada persoalan besar, sembunyi-sembunyi menemui sepuh atau kiai di maksud.
 Terus terang,  ketika  saya masih bertugas sebagai jurnalis di sebuah harian terkemuka di Jawa Barat, kerap “kukurusukan” menemui sepuh dan kiai tertentu misalnya di Garut dan Ciamis. Bukan karena ingin naik pangkat segera jadi pemimpin redaksi  misalnya, atau jadi manajer, atau “lahuta”, menjadi direktur (hehehe), tetapi ingin kenal  atau mencari ilmu hidup kepada mereka.
Kepada mereka saya tidak pernah dibantu macam-macam termasuk naik pangkat di perusahaan. Saya sekali lagi hanya ingin menimba ilmu hidup seperti pernah dilakukan leluhur saya di Sumedang Larang atau Galuh. Siapa tahu, suatu saat nanti ada manfaatnya untuk saya pribadi, keluarga, masyarakat bahkan negara!
Ihwal kenapa saya tidak ingin dibantu karir mencorong di perusahaan, karena guru-guru itu mengatakan saya akan berada di perusahaan tidak lebih dari tanggal kelahiran. Saya lahir tanggal 13! Jadi, saya berproses di perusahaan seperti air mengalir saja.
Menjelang datang angka 13, ada kejadian “besar”  menimpa saya. Berawal dari berita dengan judul  heboh yang dibuat redaktur tertentu  “Aroma Tengik  di Situ Leutik” (dan judul itulah yang sebenarnya membuat “panas “ pejabat tertentu di sebuah pemerintahan), kemudian merembet kepada hal lain yang sebenarnya sudah “disejutui” orang kantor.
Akibat hal itu, saya “dilempar” ke hutan. Sendirian.  Hanya sendirian.
Itulah awalnya. Saya sempat mau bertahan. Akan tetapi setelah merenung, istikoroh, saya kemudian mengambil keputusan besar. 
Ya, kapal besar itu dengan baik-baik saya tinggalkan dengan kepedihan dan kesedihan, tapi tanpa jabat bersahabat direksi seorang pun, kecuali senior-senior saya yang mencoba bersikap seperti pejabat di ruang tamu direksi, hehehe.
Tak apalah. Toh saya tidak kenal mereka. Saya hanya kenal nama  mereka saja!
Tetapi , akibat hal itu, saya kemudian pulang dengan memegang keris pusaka dari Sumedang Larang, yang semula saya sembunyikan. Saya usap keris itu dengan doa-doa agar tidak terbang sebelum waktunya.
Itulah salahsatu hal yang menyebabkan saya percaya kepada sepuh atau kiai. Penglihatan mereka soal karir saya di perusahaan dan angka 13, tidak meleset.  Tentu banyak penglihatan lain yang akurasinya juga mengagumkan saya.
Apakah karena alasan itu pula sejumlah petinggi di tanah air atau pejabat di Gedung Sate dan beberapa kabupaten/kota, diketahui sering  menemui sepuh dan para kiai di Garut dan Ciamis? Termasuk di dalamnya dua petinggi partai di Jakarta yang sedang terbelit kasus besar dan sedang dibidik KPK –yang hingga saat ini masih tersenyum menawan?
Juga karena kepercayaan itu pula yang menyebabkan sejumlah calon bupati, walikota dan Jawa Tengah datang ke seorang guru saya di Ciamis selatan untuk mengetahui “info dari langit” soal pencalonannya?
Bisa jadi ya jawabnya. Bisa jadi juga tidak, alias datang ke kasepuhan hanya untuk  goyon saja.
Oh, ya, walau percaya kepada sepuh atau kiai, saya tentu lebih percaya kepada Allah SWT. Apapun yang diinfokan sepuh atau kiai yang bisa “noong” buku catatan nasib seseorang, jika Allah SWT berkehendak, catatan itu bisa diubahnya dengan seketika. ***

Post a Comment

1 Comments

Jack said…
Bagus kang, perjalanan hidup penuh dgn lika liku kanan dan liku kiri, jalan menurun dan jalan mendaki. sekarang sedang di mana posisi perjalanannya? Apakah sdg diatas atau turun? Jalani saja ya kang dgn penuh ke iklasan, hanyut dalam aliran sungai Allah.