SEORANG anggota DPRD
Banjar, Soedrajat Anggadiredja sempat melontarkan kekhawatirannya kepada wisata
kuliner (wiskul) di Jalan Kantor Pos, Banjar.
Waktu itu, wiskul baru saja diresmikan Walikota Banjar H. Herman
Sutrisno, dan langsung mendapat respon positif warga Banjar yang memang mendambakan
adanya wiskul.
Ajat waktu itu berselorong di facebook, bahwa jika tidak
dimanage secara betul, dikhawatirkan wiskul itu “obor karari”. Maksudnya, ramai
di awal, tetapi kemudian mati. “Saya khawatir seperti itu,” tulis penggemar otomotif itu.
Ternyata, di kemudian hari, kekhawatirannya terbukti. Wiskul
yang dibangun dengan dana hibah dari Kementerian Koperasi dan UKM lebih dari Rp 500 juta itu,
pelan-pelan “mati”. Para pedagang sebanyak kurang lebih 38 orang, satu persatu
mulai berhenti berjualan.
Banyak alasan yang dikemukakan pedagang. Di antaranya,
dagangan tidak laku karena tidak ada pembeli; berjualannya tidak leluasa karena
berdagang hanya dari sore hari hingga malam hari. Juga, karena tidak jelasnya
managemen wiskul.
Belakangan, wiskul itu semakin tidak jelas saja. Dengan harapan pembeli banyak, peserta
wiskul yang tinggal beberapa roda,
pindah berjualan di belakang Toserba Pajajaran. Tetapi itu pun tetap tidak mampu
menghidupkan wiskul di Banjar, meskipun dinas terkait sudah membuatkan
petunjuk, bahwa di belakang Toserba itu ada wiskul.
Yang menyedihkan, roda-roda hibah itu sekarang banyak yang
hilang entah dibawa siapa. Pihak terkait, sepertinya tidak mau tahu dengan itu,
apalagi mendata kemudian mengumpulkan barang barang disebut milik negara itu.
Maka, salutlah penulis kepada Soedrajat. Pasalnya, “ramalannya” terbukti betul.
**
Mang Ape bersama istri, waktu itu pun turut berjualan Mie
Kocok Bandung M2 Lingga.
Setelah berlangsung sekira sebulan, kami pun memutuskan berhenti
berjualan. Akan tetapi, alasan kami berhenti bukan karena tidak laku. Sebab stand
kami waktu itu, sebenarnya diminati orang. Bahkan, bukan sombong, Walikota
Banjar kerap menyuruh staf di rumah dinasnya untuk membeli mie kocok, selain
datang langsung pada Sabtu malam.
Alasan kami berhenti, di antaranya, karena banyak nya suara miring. Suara
miring itu misalnya menyebutkan kami berjualan dibiayai Pemkot Banjar. Padahal
sebenarnya tidak seperti itu.
Alasan lainnya, kami
fikir, bergabungnya kami di wiskul bisa mengganggu aktifitas penulis waktu itu,
yakni sebagai wartawan. Penulis juga takut pemberitaan menjadi tidak objektif lagi karena, walau
bagaimanapun, kami memperoleh fasilitas berupa roda untuk berjualan, hasil
pendekatan kepada H. Herman Sutrisno.
Penulis berfikir, walau dekat dengan penguasa itu kerap
dilakukan jurnalis lain bahkan ada jurnalis yang menitipkan istri, suami atau
keluarganya kepada penguasa agar jadi PNS, penulis tidak ingin terlalu dekat.
Penulis ingin selalu menjaga
objektifitas –walau suatu saat pernah masuk ke partai penguasa di Banjar tapi
kemudian mengundurkan diri.
Begitulah. Karena alasan-alasan itulah kami, berhenti
berjualan walau sebenarnya mengasyikkan dan berhasil mendapatkan tambahan
masukan, termasuk untuk karyawan.
Penulis, sebenarnya tidak berharap wiskul “mati”. Sayangnya, faktanya seperti itu. Wiskul,
ternyata “obor karari”. Yah, kumaha deui atuh, Mang?
0 Comments