TIAP kali berada di Pasar Banjar, terus terang, dahi penulis sering berkerut. Ya, ada pertanyaan yang mengusik hati.
Pertanyaan itu: mengapa Pasar Banjar berada dekat Sungai
Citanduy? Mengapa tidak di tempat lain saja?
Apakah hanya kebetulan, atau ada alasan lain yang erat kaitannya dengan
masa lalu? Padahal lokasi pasar yang dekat dengan sungai, rentan terkena luapan
Banjir.
Penulis tentu saja mencoba mencari tahu. Akhirnya sebuah keterangan diperoleh. Tetapi,
tentu saja, keterangan itu masih perlu diuji resmi oleh ahli sejarah atau
mungkin arkeolog. Artinya, keterangan itu masih perlu diperdebatkan.
Keterangan itu menyebutkan, Pasar Banjar adalah pasar tua.
Pasar bukan dibangun semasa pemerintahan Belanda, tapi jauh sebelum itu. Pemerintahan
Belanda hanya membenahi dan mengembangkan pasar yang sudah ada saja. “Pasar Banjar sudah ada sejak abad 13 (1210 M),”
kata sumber itu.
Dijelaskan, pada era itu, di belakang pasar ada dermaga .
Dermaga digambarkan sangat ramai. Selain digunakan oleh pedagang umum,
dermaga biasa digunakan oleh armada laut
Kerajaan Galuh untuk pergi dan pulang melakukan hubungan bilateral dengan
kerajaan lain di Nusantara, termasuk dengan Kerajaan Majapahit.
Karena berdekatan dengan dermaga, pasar Banjar menjadi pasar
penting di Kerajaan Galuh. Apalagi karena di pasar, dijual tarum Banjar, sebagai
bahan pewarna kain. “Biasanya orang Majapahit belanja tarum ke Banjar. Pasalnya,
waktu itu di Banjar banyak sekali pohon Tarum,” ujar sumber itu.
Disebutkan pula, karena pengaruh pedagang Majapahit, di
Banjar juga banyak yang ahli narum. Mereka
tinggal di sebuah tempat yang kemudian terkenal dengan Pataruman. Oleh
sebagian orang , Pataruman itu kerap disebut Patroman, dan kemudian menyatu
dengan nama Banjar, yakni Banjar Pataruman. Sayang, keahlian masyarakat Banjar dalam “narum” itu tidak berkembang.
Bahkan mati.
Betulkah keterangan itu? Sekali lagi perlu ada kajian
serius, jika ingin sejarah itu terungkap. Namun demikian, penulis memperoleh
keterangan serupa dengan sumber itu, dari
Majalah Ujung Galuh Edisi 04
tahun 2007. Menurut majalah berbahasa Sunda yang khusus membahas soal sejarah
atau masa lalu itu, di Banjar, tepatnya di Sungai Citanduy di belakang Pasar Banjar , pernah ada sebuah
dermaga yang ramai. Dermaga itu sering dikunjungi orang Majapahit termasuk
armada laut kerajaan yang terkenal itu!
Soal adanya kaitan tarum Banjar dengan Jawa (Majapahit) pun,
setidaknya dibenarkan Ki Demang Wangsyafudin. “Ya, Banjar memang dipengaruhi
oleh kebiasaan orang Jawa dalam memanfaatkan tarum. Sayangnya, tidak
berkembang,” tutur Demang suatu ketika kepada Mang Ape. (ket. sketsa dari Senoajisketsa.blogspot.com)***
0 Comments