“Ya, saya rasa kata ‘koentji’
itu bermakna. Saya rasa kata itu menjadi petunjuk bahwa semua hal terkait
Sumedang bisa dibuka di sini, di gunung
ini. Mungkin ini semacam sandi atau petunjuk,” kata Didin.
Yang baru dirasakan
oleh Didin semenjak bertugas di objek wisata itu, ke gunung kunci ternyata
banyak orang ziarah. Mereka bukan hanya
dari Sumedang, tetapi juga dari berbagai wilayah di Indonesia.
Yang ziarah, bukan
ingin menikmati benteng bekas pertahan, tetapi berziarah ke dua makam tua di
sekitar benteng, tepat di belakang panggung pertunjukan. “Menurut yang percaya,
makom itu makomnya orang sakti di Sumedang. Makom itu ada, sebelum benteng
dibangun,” tuturnya.
Hanya, soal apakah
justru makom itulah kunci untuk membuka berbagai hal terkait Sumedang, kasumedangan, kekayaan atau hal lainnya,
Dindin tidak mengetahuinya. “Saya tidak paham,” katanya ketika mengantar MA ke
makom tua tersebut.
Ada lorong ke Gedung
Negara?
Dalam penelusuran
sebelumnya, MA memperoleh keterangan dari warga Panjunan yang perlu diuji
kebenarannya. Warga itu menyebutkan bahwa di bawah Gunung Kunci itu ada lorong
mengarah ke Gedung Negara atau bekas pendopo Bupati Sumedang. Tetapi lorong itu di bagian depannya di
Gunung Kunci, sudah tertutup bongkahan tanah, entah disengaja entah tidak.
Ketika hal itu
ditanyakan kepada Didin, dia menggelengkan kepala. Dia mengaku tidak
mengetahuinya. “Saya hanya pernah mendengar lorong itu ada di bawah Tugu
Lingga, mengarah ke Gedung Negara,” tuturnya. Tapi itu pun dia tidak mengetahui
kebenarannya.
Menurut sumber MA,
melalui lorong itu, Belanda bisa berbuat sesuatu yang sifatnya rahasia jika
terjadi huru-hara yang diakibatkan oleh gerakan perjuangan warga Sumedang untuk
menentang Belanda. Belanda, bisa
tiba-tiba berada di pusat kota, tanpa diketahui pejuang Sumedang.
Betulkah? Sekali
lagi itu perlu diuji kebenarannya. Semuanya masih teka-teki seperti halnya arti
kata “koentji” di bekas benteng pertahanan tersebut. (bersambung)***
0 Comments