PENASARAN, BUKA. Setiap
kali mengunjungi Gunung Kunci, selalu ada rasa penasaran di dada. Inti rasa
penasaran itu: kenapa benteng pertahanan tersebut dinamakan Gunung Koentji?
Kalau kata Panjoenan 1917, MA (Mang
Ape) rasanya paham. Ya, karena letak lokasi cagar budaya tersebut berada di
sebuah kampung bernama Panjunan (ejaan lama Panjoenan). Sedangkan 1917,
dipastikan merujuk kepada tahun pembuatan benteng.
Lalu, kenapa disebut
Kunung Kuntji (kunci), lengkap dengan gambar kunci segala? Mungkinkah benteng
tua bekas pertahanan Belanda itu merupakan pembuka semua hal yang berkaitan
dengan Sumedang baheula? Pertanyaan
itu mengemuka mengingat arti kunci adalah alat untuk membuka pintu. Rasanya tidak mungkin nama itu merujuk kepada
tumbuhan bernama kunci, karena gambar yang ada di atas mulut “gua” pun kunci
sebagai alat membuka pintu dan sebagainya.
Berdasarkan catatan
sejarah, benteng tersebut dibuat untuk dijadikan benteng pertahanan oleh
Belanda. Selain dijadikan benteng berikut kantor, juga dijadikan sel warga
Sumedang yang diketahui berseberangan dengan kepentingan Belanda.
Selain berfungsi
sebagai benteng, jika dicermati, gunung yang sepertinya buatan itu, juga
dijadikan tempat untuk memantau pergerakan warga di dayeuh Sumedang, karena benteng tersebut, relatif tinggi. Belanda
di Sumedang, walaupun berdasarkan keterangan sementara tidak segalak di daerah
lain, tetapi tetap saja Belanda, penjajah. Mereka punya kepentingan untuk
mengamankan wilayah jajahannya, dengan berbagai cara, termasuk kekerasan.
Karena itu, dalam
gambaran penulis, jika dari gunung itu terlihat gerakan mencurigakan di sekitar
dayeuh, Belanda sudah siap dengan
senjatanya, termasuk meriamnya yang didangongkeun
ke wilayah dayeuh. Jika perlu, senjata
itu tinggal ditembakkan. Dor. Maka tewaslah pejuang Sumedang.
Gambaran seperti
itu, sepertinya bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pasalnya, di puncak
gunung tersebut, terdapat bangunan-bangunan tempat bertahan dan tempat
mengarahkan senjata laras panjang, juga meriam. Di sana, ada parit buatan, ada
tembok tempat sembunyi. Juga ada bungker. Sempurna sebagai sebuah benteng
pertahanan, pengamanan dan penyerangan bagi pejuang Sumedang.
Penulis sempat
melakukan wawancara imajiner (kalau konsultasi spiritual kurang tepat karena
penulis tidak punya kemampuan melakukannya), dengan sejumlah tawanan yang tewas
dalam sel. Menurut mereka, begitulah kenyataannya. Dengan kejumawaan dan
senjatanya, Belanda di benteng itu bisa melakukan apapun, menyiksa tawanan,
juga mengawasi pergerakan pejuang di dayeuh Sumedang, dari atas gunung.
“Begitulah
kenyataannya. Sayang, warga Sumedang kini seakan melupakan jasa-jasa
pendahulunya yang ditawan dan disiksa Belanda. Harusnya, gunung ini juga
dijadikan monumen untuk mengingat pengorbanan para pejuang di Sumedang,” tutur
seorang tawanan yang mengaku disiksa habis-habisan oleh Belanda di sel
tersebut. (bersambung)
0 Comments