Monday, February 27, 2012

Wiskul "Obor Karari", Nya Kumaha Deui Atuh Mang?

SEORANG  anggota DPRD Banjar, Soedrajat Anggadiredja sempat melontarkan kekhawatirannya kepada wisata kuliner (wiskul) di Jalan Kantor Pos, Banjar.  Waktu itu, wiskul baru saja diresmikan Walikota Banjar H. Herman Sutrisno, dan langsung mendapat respon positif warga Banjar yang memang mendambakan adanya  wiskul.
Ajat waktu itu berselorong di facebook, bahwa jika tidak dimanage secara betul, dikhawatirkan wiskul itu “obor karari”. Maksudnya, ramai di awal, tetapi kemudian mati. “Saya khawatir seperti  itu,” tulis penggemar otomotif itu.
Ternyata, di kemudian hari, kekhawatirannya terbukti. Wiskul yang dibangun dengan dana hibah dari Kementerian Koperasi  dan UKM lebih dari Rp 500 juta itu, pelan-pelan “mati”. Para pedagang sebanyak kurang lebih 38 orang, satu persatu mulai berhenti berjualan.
Banyak alasan yang dikemukakan pedagang. Di antaranya, dagangan tidak laku karena tidak ada pembeli; berjualannya tidak leluasa karena berdagang hanya dari sore hari hingga malam hari. Juga, karena tidak jelasnya managemen wiskul.
Belakangan, wiskul itu semakin tidak jelas saja.  Dengan harapan pembeli banyak, peserta wiskul  yang tinggal beberapa roda, pindah berjualan di belakang Toserba Pajajaran. Tetapi itu pun tetap tidak mampu menghidupkan wiskul di Banjar, meskipun dinas terkait sudah membuatkan petunjuk, bahwa di belakang Toserba itu ada wiskul.
Yang menyedihkan, roda-roda hibah itu sekarang banyak yang hilang entah dibawa siapa. Pihak terkait, sepertinya tidak mau tahu dengan itu, apalagi mendata kemudian mengumpulkan barang barang disebut milik negara itu.
Maka, salutlah penulis kepada Soedrajat. Pasalnya,  “ramalannya”  terbukti betul.
                                                                                     **
Mang Ape bersama istri, waktu itu pun turut berjualan Mie Kocok Bandung M2 Lingga.
Setelah berlangsung sekira sebulan, kami pun memutuskan berhenti berjualan. Akan tetapi, alasan kami  berhenti bukan karena tidak laku. Sebab stand kami waktu itu, sebenarnya diminati orang. Bahkan, bukan sombong, Walikota Banjar kerap menyuruh staf di rumah dinasnya untuk membeli mie kocok, selain datang langsung pada Sabtu malam.
Alasan kami berhenti,  di antaranya, karena banyak nya suara miring. Suara miring itu misalnya menyebutkan kami berjualan dibiayai Pemkot Banjar. Padahal sebenarnya tidak seperti itu.
Alasan lainnya,  kami fikir, bergabungnya kami di wiskul bisa mengganggu aktifitas penulis waktu itu, yakni sebagai wartawan. Penulis juga takut pemberitaan menjadi  tidak objektif lagi karena, walau bagaimanapun, kami memperoleh fasilitas berupa roda untuk berjualan, hasil pendekatan kepada H. Herman Sutrisno.
Penulis berfikir, walau dekat dengan penguasa itu kerap dilakukan jurnalis lain bahkan ada jurnalis yang menitipkan istri, suami atau keluarganya kepada penguasa agar jadi PNS, penulis tidak ingin terlalu dekat. Penulis ingin  selalu menjaga objektifitas –walau suatu saat pernah masuk ke partai penguasa di Banjar tapi kemudian mengundurkan diri.
Begitulah. Karena alasan-alasan itulah kami, berhenti berjualan walau sebenarnya mengasyikkan dan berhasil mendapatkan tambahan masukan, termasuk untuk karyawan.
Penulis, sebenarnya tidak berharap wiskul “mati”.  Sayangnya, faktanya seperti itu. Wiskul, ternyata “obor karari”. Yah, kumaha deui atuh, Mang?


No comments:

Arsip

  • ()
  • ()
Show more