Saturday, July 4, 2020

Tulisan Kenangan : Dusun Susuru Ciamis Ajarkan Toleransi

Istimewa

DUSUN Susuru di Desa Kertayasa Panawangan Ciamis sebenarnya tak beda dengan dusun lainnya, baik di Ciamis maupun daerah lainnya. Namun, ada yang khas di dusun ini: sudah sejak lama tumbuh dan berkembang dua agama berbeda, serta sebuah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Kekhasan itu saat ini tampaknya layak untuk sama-sama direnungi karena fakta yang ada di Susuru jarang ditemukan di daerah lainnya. Selain itu, karena Susuru seakan telah memberikan pelajaran soal toleransi dan kerukunan antarumat beragama serta penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 

Mereka tidak gontok-gontokan, tidak saling curiga satu sama lainnya. Hidup mereka benar-benar berdampingan dan saling tolong-menolong. Cara mereka hidup jelas bisa dijadikan teladan. Jika semua bisa seperti masyarakat Susuru, boleh jadi negeri ini aman, tidak ada bentrokan berdarah karena sentimen agama, misalnya. 

Agama pertama yang tumbuh dan berkembang di dusun berjarak 10 km dari pusat kota Panawangan ke sebelah barat atau 40 km dari Kota Ciamis ini, tentu saja Islam. Agama kedua, Kristen. Sementara itu,
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kepercayaan yang diajarkan Djatikusumah dari Cigugur Kuningan.

Para penganutnya sudah sejak lama memang punya toleransi yang tinggi terhadap penganut agama dan
kepercayaan yang lain. Penganut agama Islam yang menduduki jumlah terbanyak dari penganut agama dan kepercayaan lainnya, tidak pernah menganggap super ketimbang yang lainnya. Sebaliknya, dengan penganut agama Kristen dan kepercayaan. Mereka tidak pernah minder berhubungan dengan pemeluk agama Islam.

Yang unik, penghuni Susuru yang berjumlah sekira 2.000 orang ini sudah saling mengenal cara atau kebiasaan beribadahnya masing-masing. Penganut Islam tahu kapan penganut Kristen dan kepercayaan beribadah -- demikian pula caranya. Penganut Kristen dan kepercayaan pun hafal benar kapan penganut Islam beribadah. Lebih unik lagi, mereka umumnya hapal doa-doa yang diucapkan penganut agama lainnya, walau tidak dengan fasih.

Letak tempat ibadahnya pun berdekatan sekali. Masjid dan rumah peribadatan penganut kepercayaan saling berhadapan, sedangkan tempat beribadah peganut Kristen berada sekira 20 meter dari keduanya. Ketiganya, dalam kondisi terpelihara, kecuali tempat beribadah penganut kepercayaan.

Tak pelak, adanya dua agama berbeda dengan kepercayaan yang bisa hidup dan berkembang bertahun-tahun tersebut cukup mengundang decak kagum Wakil Gubernur Drs. H. Soedarna T.M. dan Bupati Ciamis H. Oma Sasmita Sumardi, S.H., M.Si., ketika berkunjung ke dusun ini beberapa waktu lalu. "Dusun ini luar biasa. Di sini ada tiga kelompok yang memiliki keyakinan beragama berbeda. Namun, mereka sangat toleran," kata Soedarna.


Sementara itu, Bupati H. Oma mengatakan kerukunan beragama di Susuru tsb sebenarnya bisa dicontoh daerah lain yang sering bertentangan, seperti di Maluku. Kerukunan itu, tambahnya, harus tetap dijaga. "Janganseperti di daerah lain yang saling bertentangan, gara-gara perbedaan agama," ungkapnya. 

** 
MENGENAI penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME di Susuru ini, berdasar catatan berjumlah 30 KK. Mereka jadi penganutnya konon sejak 1981 lalu.

"Kami menganut kepercayaan ini memang sejak 1981. Agama karuhun Sundanya sendiri (demikian merekamenyebut kepercayaan yang dianutnya- red.) diajarkan Pak Djatikusumah dari Cigugur Kuningan," kata Kono (56), pupuhu dari kelompok tersebut. Hingga sekarang, mereka tetap kokoh memegang ajaran itu, tidak terpengaruh oleh ajaran agama resmi di Indonesia.

Kelompok itu hidup sederhana. Mereka hidupnya mengandalkan hasil pertanian berkebun karena di
wilayah Susuru tidak ada lahan pesawahan. Hasil pertanian tersebut mereka jual ke kota melalui jalan sempit berbatu yang dibangun tahun 1981.

Menurut Kono, Adli, dan Holis (keduanya ais pangampih penghayatan), mereka merupakan penduduk asli Susuru, bukan pendatang. Asal mula mereka menjadi penghayat kepercayaan, setelah mendapat ajaran dari Djatikusumah dari Cigugur Kuningan. Setelah itu, mereka secara turun-temurun melaksanakan ajaran-ajaran Djatikusumah dengan setia, hingga sekarang. 

Diakui beberapa penganut ajaran itu, dalam perkembangannya, memang ada anggota yang "menyeberang" ke agama lain, seperti ke Islam atau Kristen. Umpamanya, karena pernikahan. Namun demikian, mereka tidak memasalahkannya. "Yang penting, anggota kami tetap percaya bahwa Tuhan itu ada. Itu saja," kata mereka.

Dan memang, walaupun mereka tidak menganut ajaran agama tertentu, mereka tetap percaya bahwa Tuhan itu ada. Mereka pun tetap melaksanakan ibadat seminggu sekali secara bersama atau tiap waktu secara pribadi-pribadi di rumahnya masing-masing. 

Pegangan mereka dalam beribadah adalah Pikukuh Tilu. Sementara Tuhan YME mereka sebut Gusti Pangeran Sikang Sawijiwun. Ajaran-ajaran mereka yang berada di bawah lindungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Ciamis tersebut umumnya menggunakan aksara Sunda. Pusat keagamaannya, di Cigugur, Kuningan. (Aam Permana
S./"PR", Senin, 06 Januari 2003)***

No comments:

Arsip

  • ()
  • ()
Show more