
Terus
terang, MA memang jarang sampai terpingkal-pingkal menyaksikan peserta Borangan.
Akan tetapi, Borangan sepertinya tetap punya daya tarik. Daya tariknya, di
antaranya karena faktor kelangkaan acara serupa di televisi di Jawa Barat, juga
karena MA rindu menonton pelawak asal Sunda yang ngabodor dengan bahasa Sunda
dengan gaya khas orang Sunda juga –kampungan, bloon, tetapi cerdas!
Daya
tarik lain, karena di Borangan muncul juga Gubernur Bodor Jawa Barat H. Taufik
Faturohman yang kerap ngabodor juga, karena bertindak sebagai “host” acara
Borangan. MA, terus terang menyukai bobodoran H. Opik, baik yang diutarakan
secara lisan maupun tulisan.
Nah
bila yang ngabodornya Sang Gubernur Bodor, sesedarhana apapun materi
lawakannya, termasuk bila materinya “daur ulang”, MA selalu terpingkal-pingkal,
bahkan sampai kaluar cimata segala.
Pasalnya, orang gendut yang satu ini piawai dalam urusan membuat orang seuri, atau seuseurian sorangan.
Untunglah
H Opik batal jadi kepala daerah. Kalau kabiruyungan
jadi kepala daerah, MA barangkali tidak akan menyaksikan dan membaca
bobodorannya lagi. Soalnya, masak bupati ngabodor? Heuheuheu…
Kembali
ke persoalan, Borangan, adalah adalah
salah satu genre profesi melawak yang pelawaknya membawakan lawakannya di atas panggung seorang diri, biasanya
di depan pemirsa langsung, dengan cara bermonolog mengenai sesuatu topik.
Kalau MA tidak salah, televisi
di Indonesia yang mengenalkan genre ini pertama kali adalah MetroTV melalui
acara stand up comedy. Setelah Metro,
kemudian Kompas TV. Dua televise swasta nasional ini, kemudian berlomba-lomba
menyajikan acara stand up comedy terbaik, malah sampai menyelenggarakan lomba
segala.
Belakangan, televise local
swasta di Bandung juga menayangkan acara serupa dengan nama Borangan. Borangan
di sini bukan menunjukkan sifat orang penakut, tetapi singkatan dari “Bobodoran
Sorangan”, melawak seorang diri.
Asyik dan menarik,
begitulah penilaian MA atas tayangan tersebut. Dasarnya, ya seperti yang
diutarakan di awal tulisan.
Program ini juga
memiliki peluang dikembangkan lebih jauh. Misalnya, pesertanya bukan hanya dari
kalangan pelawak saja. Barangkali, menarik juga jika diundang pejabat daerah
seperti Bupati, Walikota dan unsur muspidanya, atau bahkan juga Gubernur, untuk
turut ngabodor sosorangan.
Mereka diminta
ngabodor soal apa saja… Siapa tahu dengan cara itu, daerah atau institusi yang
dipimpinnya menjadi segar, tidak tegang, dan jauh dari korupsi! Tiasa Kang Opik
sareng Kang Ilmi Hatta?***
0 Comments