Jangan
kritisi dan ungkap kelemahan TVRI.
Demikianlah kesimpulan saya yang hampir empat tahun lamanya bergabung sebagai
tenaga kontrak di TVRI Jawa Barat, tapi kemudian harus “dibuang” gara-gara beropini
di sebuah media sosial, dengan judul TVRI
Belum Memanusiakan Pekerjanya (TBMP).
Sebelum
“dibuang”, oleh manajemen TVRI Jawa Barat, saya sempat diminta membuat tulisan
opini sebagai klarifikasi walau sebenarnya tidak perlu, di media sosial yang
sama. Bukan hanya itu, saya juga segera
menghapus tulisan TBMP, atas permintaan
manajemen TVRI Jawa Barat. Saya juga hampir dua kali ditanya manajemen dalam
rangka pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penayangan opini tersebut. Dan semua permintaan itu, saya turuti walau
hati kecil menolak.
Akan tetapi,
walau semua langkah sudah saya lakukan, saya yang sebenarnya ingin
berkontribusi terus di TVRI sebagai EIC/Produser Kalawarta, Program Berita Basa Sunda di TVRI Jawa Barat, pada
akhirnya “dibuang” dengan bahasa “kontrak tidak diperpanjang”.
Gambar olahan penulis |
Keputusan
itu, walau berat, saya terima dengan lapang dada. Sebagai “tenaga kontrak” dengan kontrak tanpa berdasarkan aturan
kontrak kerja sesuai aturan ketenagakerjaan, saya harus menerima. Saya
juga, tidak memiliki dasar
menggugat keputusan manajemen TVRI Jawa
Barat tersebut.
Namun
demikian, tetap ada yang mengganjal di benak saya. Satu hal yang jadi pemikiran
saya, kenapa LPP TVRI yang katanya ingin bangkit dan memperbaiki diri agar
tidak terus-terusan disclaimer, malah alergi terharap kritik dan masukan.
Padahal, kritik dan masukan itu, dalam
negara demokrasi bukan merupakan sesuatu yang tabu; dan menurut hemat saya,
justru bagus untuk TVRI.
Apalagi,
karena isi opini TBMP, sebenarnya wajar
dan berdasarkan kenyataan yang ada. Memang ada yang kurang tepat, tetapi yang
kurang tepat dalam tulisan itu kemudian saya perjelas dalam tulisan berikutnya.
Untuk
diketahui, dalam media sosial tersebut
antara lain saya menyinggung soal adanya pekerja non ASN di lingkup
TVRI, yakni Pegawai Bukan Pegawai Negeri
Sipil (PBPNS), tenaga kontrak dan freelance seperti kontributor berita dan
penyiar. Menurut saya, karena tenaga kontrak dan freelance bekerja untuk TVRI Jabar tak ubahnya para ASN,
maka sejatinya mendapat upah layak, apalagi karena yang bersangkutan tidak
mendapatkan tunjangan lain. TVRI misalnya harus taat kepada aturan pengupahan yang ditentukan
oleh Dinas Tenaga Kerja setempat. Karena
TVRI Jabar berada di Kota Bandung, dalam pengupahan, misalnya, idealnya
disesuaikan dengan UMK sebesar Rp. 3.000.0000.
Demikian pula dalam pemberian
THR di setiap Hari Raya Lebaran. Hak-hak tenaga honorer dan freelance pun
sejatinya mendapat perhatian dari TVRI.
Itu saya
singgung, karena selama TVRI Jawa Barat beroperasi, tidak pernah berpatokan
kepada ketentuan Disnasker setempat. Upah tenaga kontraknya hanya sebesar Rp 2,
2 juta itupun harus dipotong iuran BPJS .
Upah seperti
itu bersih, sebab tidak ada hal lain yang bisa menyebabkan pekerjanya hidup
layak. Kalau pun ada tambahan, hanya berasal dari operasional dari tugas
tambahan yang nilainya juga hanya cukup untuk sebungkus rokok. Dan jika
lebaran, THR, selama bertahun-tahun tidak pernah sesuai ketentun dari
pemerintah. Paling besar, THR tenaga kontrak TVRI Jabar hanya sebesar Rp. 1.200.000.
Demikian pula dengan THR freelance. Paling besar Rp. 500.000 walaupun yang
bersakutan mengabdi ke TVRI sudah belasan tahun lamanya.
Dalam kaitan
dengan itu, saya berharap, Direktur dan Dewas TVRI sekarang bersedia
memanusiakan pekerjanya yang non ASN dan Non PBPNS dengan memberikan upah layak
sesuai aturan yang berlaku. Itu artinya, yang diperjuangan pengambil kebijakan
di TVRI sekarang, bukan hanya memperbaiki layar agar publik tanah air kembali
menonton TVRI. Tagar #kami kembali,
hendaknya dibarengi dengan itikad mensejahterakan pekerjanya.
Hal lain
yang disinggung dalam tulisan yang membuat saya “dibuang”, adalah soal fakta ketika ada tenaga kontrak
yang harus memasuki masa pensiun. Saat diputus harus pensiun, mereka hanya mendapat uang pesangon dua kali
gaji tidak lebih—hingga membuat mereka
menangis dan meratapi nasib.
Apakah itu
berlebihan?
Saya
bolak-balik membaca tulisan yang sudah diminta dihapus dari media sosial itu. Akan tetapi, saya
tetap tidak menangkap sesuatu yang
berlebihan. Apakah karena tulisan itu perjuangan TVRI untuk bebas dari disclaimer akan terganggu?
Agustus 2017, saya pernah menjadi juara dua
dalam Lomba Menulis Surat Cinta bagi TVRI yang diselengarakan Dewas TVRI baru.
Dalam tulisan itu juga saya memberikan masukan dan kritikan untuk kebaikan TVRI
mendatang. Lalu apa bedanya?
Barangkali
dinamika. Setelah berjalan, TVRI tidak mau diberi kritik dan masukan. Maka,
kesimpulannya, Jangan Kritik TVRI agar tak disclamer
lagi!**
0 Comments