Onom yang Legendaris, di Era Facebok dan Tweeter (2)


Ceritanya, pada suatu siang, penulis  istirahat di sebuah warung di  kawasan Desa Siluman yang dekat dengan Pulo Majeti . Penulis saat itu sedang “jihad”, melaksanakan tugas rutin dari perusahaan sebagai tenaga pemasaran.  Secara tidak sengaja, di  warung itu, penulis memperoleh informasi soal orang yang tirakat di Pulo Majeti.  Tentu, pemilik warunglah yang member informasi tentang hal itu.
“Mereka tirakat sudah dua hari,” ujarnya sambil menyodorkan segelas kopi  hitam panas kepada penulis. Dia juga menyebutkan bahwa kedua orang yang tirakat tersebut berasal dari Subang, Jawa Barat. Keduanya berprofesi sebagai pedagang.
“Tirakat bagaimana, Nek?” Pemilik warung penulis panggil “Nek” karena dia seorang wanita yang diperkirakan berusia lebih dari 60 tahun. Rambutnya sudah putih-putih. Badannya pun bongkok.
“Ya, diam di keramat tanpa bicara apa-apa, sambil puasa,” jawabnya. “Kalau tidak percaya, tengok saja, kasep!”
Penasaran. Setelah menyeruput kopi yang panas, penulis berjalan masuk ke keramat  Majeti.  Penulis melewati jalan menanjak  dengan panjang sekira 20 meter. Tak lama kemudian sampailah penulis di “puncak” pulau.
Terlihat ada dua gubuk. Yang satu agak di bawah. Yang satunya lagi ada di bagian atas. Nah di gubuk yang sebelah atas itulah, penulis melihat dua pria tengah duduk khidmat sambil memejamkan matanya.  Di hadapan mereka ada “makam” atau batu tua. Mereka tampak tenang. Mereka sepertinya tidak memperhatikan atau mengetahui kehadiran penulis.
“Betul juga, Nek,”  demikian kata penulis kepada sang pemilik warung ketika kembali ke warung tersebut. Nenek itu tersenyum.
Begitulah awalnya.(bersambung)

Post a Comment

0 Comments