Ceritanya, pada suatu siang, penulis istirahat di sebuah warung di kawasan Desa Siluman yang dekat dengan Pulo
Majeti . Penulis saat itu sedang “jihad”, melaksanakan tugas rutin dari
perusahaan sebagai tenaga pemasaran.
Secara tidak sengaja, di warung
itu, penulis memperoleh informasi soal orang yang tirakat di Pulo Majeti. Tentu, pemilik warunglah yang member informasi
tentang hal itu.
“Mereka tirakat sudah dua hari,” ujarnya sambil menyodorkan
segelas kopi hitam panas kepada penulis.
Dia juga menyebutkan bahwa kedua orang yang tirakat tersebut berasal dari
Subang, Jawa Barat. Keduanya berprofesi sebagai pedagang.
“Tirakat bagaimana, Nek?” Pemilik warung penulis panggil
“Nek” karena dia seorang wanita yang diperkirakan berusia lebih dari 60 tahun.
Rambutnya sudah putih-putih. Badannya pun bongkok.
“Ya, diam di keramat tanpa bicara apa-apa, sambil puasa,”
jawabnya. “Kalau tidak percaya, tengok saja, kasep!”
Penasaran. Setelah menyeruput kopi yang panas, penulis
berjalan masuk ke keramat Majeti. Penulis melewati jalan menanjak dengan panjang sekira 20 meter. Tak lama
kemudian sampailah penulis di “puncak” pulau.
Terlihat ada dua gubuk. Yang satu agak di bawah. Yang
satunya lagi ada di bagian atas. Nah di gubuk yang sebelah atas itulah, penulis
melihat dua pria tengah duduk khidmat sambil memejamkan matanya. Di hadapan mereka ada “makam” atau batu tua. Mereka
tampak tenang. Mereka sepertinya tidak memperhatikan atau mengetahui kehadiran
penulis.
“Betul juga, Nek,”
demikian kata penulis kepada sang pemilik warung ketika kembali ke
warung tersebut. Nenek itu tersenyum.
Begitulah awalnya.(bersambung)
0 Comments