Mang Ape Saba Desa: Trenyuh Melihat Nenek Belum Makan

Di Banjar, seperti di daerah lainnya,  banyak terdapat manusia lanjut usia (manula). 
Saat Mang Ape melakukan “saba desa” -- jalan-jalan ke desa-desa, diketahui bahwa para manula itu hampir ada di  setiap titik di Banjar.  Walaupun perlu diuji kebenarannya, bisa disebutkan, di suatu rukun tertangga (RT) di Banjar, dipastikan terdapat satu-dua manula.
Mereka kebanyakan sudah tidak produktif lagi. Hidupnya benar-benar sudah mengandalkan pemberian atau dukungan penuh dari anak atau kerabatnya. Yang tergolong tidak produktif ini, di rumahnya hanya duduk, melongo, moyan atau siduru saja. Tidak lebih.
Tetapi ada juga yang tetap produktif, berusaha mencari sesuap nasi dengan keringatnya sendiri. Mereka, misalnya ada yang jadi pemulung, tukang becak atau  pencari kayu kabar.
Alasan mereka tetap produktif, memeras keringat, adalah karena jika tidak melakukan sesuatu, mereka tidak bisa makan atau membiayai keluarganya.
“Anak jauh di Jakarta, kerja serabutan. Dia tidak bisa diandalkan. Ya, terpaksa aki ngabeca seperti ini,” kata Pak Kayid, warga Balokang, tukang becak yang biasa mangkal di kawasan alun-alun Banjar. Dia sengaja “ngaakikeun” kepada Mang Ape. Barangkali karena merasa umurnya sudah “cueut ka hareup.”
Tak disangkal, mereka, para manula itu membutuhkan perhatian dari kita, terutama dari pemerintah, baik pemerintah daerah, provinsi, maupun pusat.
Perhatian kepada mereka tentu bukan hanya sebatas pemberian uang, insentif atau  sumbangan sembako saja. Ada yang lebih penting dari itu: mereka harus diberikan “pekerjaan” yang enteng tapi hasil dari pekerjaannya bisa memberikan penghasilan yang layak buat mereka.
Pekerjaan itu bukan hanya diberikan kepada yang masih produktif saja, tetapi juga kepada yang di rumahnya hanya diam tanpa ada aktifitas apa-apa.
Yang hanya melongo, bengong, siduru, dengan cara itu bisa mengerjakan sesuatu di rumahnya. Yang masih bisa ngabeca, jadi pemulung, bisa menghemat tenaganya dengan pekerjaan yang diberikan dari pemerintah itu.
Mang Ape mengira, itu bukan menyiksa mereka, tetapi untuk kebaikan mereka sendiri.  Apalagi karena mereka tidak melakukan apa-apa atau bekerja keras seperti ngabeca dan jadi pemulung, adalah karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan.
Masalahnya, adakah program untuk memberdayakan manula?  Di Banjar misalnya, tinggikah perhatian pemerintah kepada para manula? Besar manakah perhatian untuk membangun sebuah projek insfrastruktur dan untuk memberdayakan manusia termasuk manula?
Mang Ape ketika pulang jalan-jalan ke pelosok sempat trenyuh saat menemui seorang nenek yang tengah duduk mencangklok di depan pintu gubuknya. Trenyuh, karena ketika istri Mang Ape bertanya sudah makan, dia mengaku belum makan.
“Neng, siang ini belum ada yang ngirim makanan ke  nini,” kayanya. Padahal, saat itu, hari hampir menjelang tengah hari….***

Post a Comment

0 Comments