Pacuan kuda ini warisan Pangeran Aria Soeria Atmadja

Pacuan kuda di Sumedang, sepertinya tepat bila disebutkan warisan dari Pangeran Aria Soeria Atmadja atau Pangeran Mekah. Pangeran ini adalah putra Pengeran Suria Kusumah Adinata (Pangeran Sugih) yang memerintah Sumedang dari Januari 1883, hingga menjelang pensiun 1919.
Ihwal kenapa pacuan kuda di Sumedang tepat disebut warisan Pangeran Mekah, karena pangeran inilah yang mengembangkan olahraga balap kuda di Kota Tahu.
Dari beberapa literatur disebutkan, pada awal abad ke -20, masyarakat di Sumedang cukup menggemari olahraga balap kuda. Buktinya, ketika ada acara balap kuda “kecil-kecilan” di alun-alun distrik, warga berdatangan untuk menonton.
Melihat besarnya animo warga terhadap balap kuda, Pangeran Aria Soeria Atmaja kemudian membangun lapangan balap kuda di sekitar kota. Arena balap kuda itu disebut Kampung Pacuan Kuda Heubeul (di sekitar Jalan Anggrek sekarang), sebelum kemudian dipindahkan ke kawasan Dano.
Selain di sekitar dayeuh, Pangeran Mekah juga membangun pacuan kuda di beberapa distrik termasuk di Tanjungsari, sebelah barat Sumedang. Hal itu dilakukan, agar warga yang tinggal di daerah, juga bisa menyaksikan olahraga yang bersifat menghibur tersebut.
Pangeran Mekah yang juga disebut bupati panungtung tersebut juga sengaja mendatangkan beberapa kuda dari Sumbawa ke Sumedang.
Sebagian, kuda itu dipakai balap, sebagian lagi untuk transportasi. Jantan tertentu, bahkan ada yang coba dikawinkan dengan betina lokal, agar bisa menghasilkan kuda kualitas bagus di Sumedang.
Apa yang dilakukan Pangeran Mekah berbuah manis. Olahraga balap kuda semakin berkembang dan digemari warga Sumedang.
Yang menarik, para menak Sumedang lainnya pun tak mau kalah. Melihat bupatinya menyukai kuda, para menak di tingkat bawah pun mengikuti jejaknya: memelihara kuda untuk diikutkan dalam balapan.
Sayangnya, pemimpin Sumedang yang muncul belakangan, kurang memberikan perhatian kepada olahraga ini. Buktinya, beberapa event rutin yang biasa digelar di Pacuan Kuda Tanjungsari dan Dano, Sumedang, tidak pernah digelar lagi.

Ketika di Pacuan Kuda Tanjungsari warga mulai membangun rumah pun, pemerintah seakan membiarkan semuanya terjadi. Pemerintah tidak berupaya melarang apalagi mengembalikan pacuan ke kondisi semula.***

Post a Comment

0 Comments