Dar Der Dor Suara Petasan “Runtuy”

Saya lupa lagi sejak kapan tiap akan datang Idul Fitri harus sedia petasan “runtuy”.  Entah sejak tujuh tahun lalu, atau 10 tahun lalu. Lupa.
Yang pasti, Lebaran rasanya kurang sempurna jika tidak menyulut  sumbu  petasan “runtuy” sepanjang  satu atau dua meter, kemudian mendengarkan suara dar der dor yang memekakkan telinga, tetapi membikin hati puas. Menjelang lebaran 1433 H sekarang pun, ketika mudik ke Tanjungsari, Sumedang, saya menyempatkan diri membeli dua paket petasan runtuy dari pedagang langganan di Taman Endog, Sumedang.
Dua paket petasan itu, akan diledakkan di dua tempat. Yang satu di halaman rumah orang tua usai sungkem, yang satu lagi di halaman rumah pribadi. Saat kedua peledak itu diledakkan, sejumlah anak menonton, mendengarkan dan bersorak.  Kerabat Mang Ape pun biasanya menyaksikan acara rutin tahunan tersebut. Dengan sukacita.
 
Bila barang yang dibeli biasanya dengan sembunyi-sembunyi itu sudah meledak, puas rasanya hati. Pesta kemenangan usai menjalankan puasa sebulan penuh pun, terasa sempurna.
Kalau tidak salah, di lembur, hanya saya yang bertahun-tahun melangsungkan tradisi menyulut petasan runtuy  itu. Yang lain, sepertinya tidak tertarik. Atau mungkin juga karena mereka tidak tahu di mana harus membeli barang tersebut. Pasalnya, penjual, jika tidak kenal atau bukan ke langganan, tidak berani menjual.  Dia khawatir, yang membeli adalah petugas yang menyamar.
Sementara saya, karena sudah lama menjadi pembeli tetap, tiap jelang Lebaran bisa dengan mudah memperoleh barang. Penjual, bahkan dua atau tiga hari menjelang Lebaran, sering mengirimkan pesan pendek, bertanya kapan petasan akan diambil. Hehe…
Jauh sebelum saya punya tradisi menyulut petasan runtuy sepanjang 1 atau bahkan 2 meter , di lembur sebenarnya ada warga yang pernah beberapa kali menyulut petasan runtuy di halaman rumahnya. Dia adalah H. Abdul, seorang juragan roda kayu yang jago silat. Itu terjadi ketika saya masih remaja.
Akan tetapi, setelah H. Abdul meninggal dunia, kebiasaaanya tidak ada yang meneruskan, baik oleh anaknya maupun cucu-cucunya.
Karena saya tertarik, ketika sudah punya penghasilan sendiri dan menikah, tiap menjelang Lebaran saya sering membeli petasan tersebut. Kebiasaan itu saya lanjutkan sampai sekarang.
Ayah saya sebenarnya pernah melarang menyalakan petasan di halaman rumah usai sungkem dan menghabiskan opor ayam dan ketupat. Tetapi saya, tidakmendengarkan larangannya. Saya membandel. Di halaman rumah orang tua, tetap menyalakan petasan. Ayah saya yang kini sudah renta dan mulai sensitif, biasanya hanya gogodeg melihat kelakukan saya. Tapi dia mungkin maklum dengan sifat bandel saya.
Petasan itu, biasanya digantungkan di dahan buah yang  tumbuh di halaman rumah. Sumbunya kemudian disulut kakak atau keponakan. Beberapa detik kemudian, terdengar suaranya yang memekakan telinga, dar der dor puluhan kali.
Bau mesiu selalu menusuk hidung setelah semuanya meledak. Kertas bekas lintingan pesan pun mancawura ke sana kemari, membuat bala halaman rumah.***

Post a Comment

0 Comments