Yang pasti, Lebaran rasanya kurang sempurna jika tidak
menyulut sumbu petasan “runtuy” sepanjang satu atau dua meter, kemudian mendengarkan
suara dar der dor yang memekakkan telinga, tetapi membikin hati puas. Menjelang
lebaran 1433 H sekarang pun, ketika mudik ke Tanjungsari, Sumedang, saya
menyempatkan diri membeli dua paket petasan runtuy dari pedagang langganan di
Taman Endog, Sumedang.
Dua paket petasan itu, akan diledakkan di dua tempat. Yang
satu di halaman rumah orang tua usai sungkem, yang satu lagi di halaman rumah
pribadi. Saat kedua peledak itu diledakkan, sejumlah anak menonton,
mendengarkan dan bersorak. Kerabat Mang
Ape pun biasanya menyaksikan acara rutin tahunan tersebut. Dengan sukacita.
Bila barang yang dibeli biasanya dengan sembunyi-sembunyi
itu sudah meledak, puas rasanya hati. Pesta kemenangan usai menjalankan puasa
sebulan penuh pun, terasa sempurna.
Kalau tidak salah, di lembur, hanya saya yang bertahun-tahun
melangsungkan tradisi menyulut petasan runtuy
itu. Yang lain, sepertinya tidak tertarik. Atau mungkin juga karena
mereka tidak tahu di mana harus membeli barang tersebut. Pasalnya, penjual,
jika tidak kenal atau bukan ke langganan, tidak berani menjual. Dia khawatir, yang membeli adalah petugas
yang menyamar.
Sementara saya, karena sudah lama menjadi pembeli tetap,
tiap jelang Lebaran bisa dengan mudah memperoleh barang. Penjual, bahkan dua
atau tiga hari menjelang Lebaran, sering mengirimkan pesan pendek, bertanya
kapan petasan akan diambil. Hehe…
Jauh sebelum saya punya tradisi menyulut petasan runtuy
sepanjang 1 atau bahkan 2 meter , di lembur sebenarnya ada warga yang pernah
beberapa kali menyulut petasan runtuy di halaman rumahnya. Dia adalah H. Abdul,
seorang juragan roda kayu yang jago silat. Itu terjadi ketika saya masih
remaja.
Akan tetapi, setelah H. Abdul meninggal dunia, kebiasaaanya
tidak ada yang meneruskan, baik oleh anaknya maupun cucu-cucunya.
Karena saya tertarik, ketika sudah punya penghasilan sendiri
dan menikah, tiap menjelang Lebaran saya sering membeli petasan tersebut.
Kebiasaan itu saya lanjutkan sampai sekarang.
Ayah saya sebenarnya pernah melarang menyalakan petasan di
halaman rumah usai sungkem dan menghabiskan opor ayam dan ketupat. Tetapi saya,
tidakmendengarkan larangannya. Saya membandel. Di halaman rumah orang tua,
tetap menyalakan petasan. Ayah saya yang kini sudah renta dan mulai sensitif,
biasanya hanya gogodeg melihat kelakukan saya. Tapi dia mungkin maklum dengan
sifat bandel saya.
Petasan itu, biasanya digantungkan di dahan buah yang tumbuh di halaman rumah. Sumbunya kemudian
disulut kakak atau keponakan. Beberapa detik kemudian, terdengar suaranya yang
memekakan telinga, dar der dor puluhan kali.
Bau mesiu selalu menusuk hidung setelah semuanya meledak.
Kertas bekas lintingan pesan pun mancawura ke sana kemari, membuat bala halaman
rumah.***
0 Comments