Saat mengayuh becaknya, dia banyak bicara soal kehidupannya yang berat. Soal istrinya di rumah dan dua cucunya yang dititipkan anaknya yang bekerja di Bandung sebagai kuli bangunan. Soal susahnya mencari muatan hingga sering dia hanya membawa pulang uang di bawah Rp 10 ribu. Padahal dia harus membeli beras dan lauk-pauknya untuk makan sekeluarga.
“Amang kedahna mah tos ulah narik beca kawas ayeuna, Den. Tapi mun teu kieu, amang jeung nini moal kararaban nanaon,” kata Pak Tua yang mengaku bernama Karta dan menyebut dirinya Amang itu. “Leuheung mun anak Amang nu digawe di Bandung sok ngirim. Ieu mah henteu,” keluhnya lagi.
Pak Tua selanjutnya mengatakan, Pemkot Banjar mestinya memperhatikan mereka. Warga miskin seperti dirinya jangan dibiarkan hidup dalam keadaan berat. Setidaknya, kata dia, Pemkot Banjar membuat atau mengadakan program pemberdayaan masyarakat untuk masyarakat kecil seperti mereka.
Saya menyela dan menjelaskan bahwa Pemkot Banjar sepengetahuan saya punya program yang bagus untuk mengentaskan kemiskinan. Masyarakat kecil bahkan bisa meminjam modal usaha melalui mekanisme yang benar.
“Ya, Amang ngadangu. Tapi nu kitu teh teu dugi ka Amang. Jaba, lain nu kitu nu dipiharep ku Amang mah…Ujang pasti ngarti kana naon nu dipiharep ku ra’yat leutik model Amang nu kapaksa masih narik beca.”
Saya sejenak diam, berfikir, mencoba mencari jawaban seperti yang diharapkannya. Setelah beberapa detik, saya kemudian memberikan jawaban, walaupun meraba-raba.
Saya menjawab, Pemkot Banjar melalui dinas terkait, mestinya mendata golongan manusa lanjut usia (manula) seperti Pak Tua Karta --yang karena keadaan, terpaksa masih harus bekerja. Mereka, kemudian dikumpulkan di desa atau kelurahan sesuai dengan domisili yang bersangkutan.
Mereka dalam pertemuan itu diajak diskusi atau sengaja didengarkan harapan-harapannya, soal kehidupannya. Jika mereka umumnya masih ingin mencari uang alias tidak ingin hanya menerima bantuan dari pemerintah, maka Pemkot atau dinas terkaitnya mesti memikirkan pekerjaan atawa cara pemberdayaannya.
Misalnya saja memberikan keterampilan membuat layang-layang kepada mereka, mulai dari membuat kerangka hingga memasangkan kertas dan memberinya gambar.
Layang-layang yang sudah jadi itu dengan bantuan dinas terkait, dijual ke bandar –bandar layangan di Banjar. Bisa bandar layangan lama, bisa juga bandar baru yang diikutsertakan dalam program tersebut. Layangan yang diberi label, misalnya “Banjar Terbang”, atau “Patroman Melayang” itu selanjutnya diedarkan bandar ke seantero Indonesia.
Ya, pasti akan ada kendala. Tetapi jika dilaksanakan dengan kesungguhan, program itu akan sukses. Boleh jadi, langkah Banjar dalam memberdayakan manula seperti itu, akan mendapat apresiasi yang positif.
“Kitu, Amang numutkeun abdi mah. Aya keneh saleresna cara kanggo makieuhkeun warga sapertos Amang teh. Tapi eta diantawisna,” kataku.
Pak Tua berambut perak itu tiba-tiba menghentikan becaknya. Dia turun dari sadel keretanya, kemudian berjalan dan menyalami saya. “Aden, eta pisan nu dipiharep ku Amang teh. Teu mencog, Aden teh paham kana kahoyong Amang saparakanca,” katanya.
Saya mengatakan, akan menyampaikan itu ke dinas terkait atau bahkan Walikota Banjar dr. H. Herman Sutrisno. Mudahan-mudahan saja menerima masukan saya.
Pak Tua mengangguk sambil menatap saya.
Tiba di depan rumah, Pak Tua menyalami saya kembali dengan hangat. Di luar dugaan, dia berbisik mengucapkan sebuah doa. Saya berkaca-kaca, terharu. “Amin, Amang,” kataku.***
0 Comments